“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Ruum; 21)
Bandung,
23-12-16
Ku
rebahkan badan setelah ku tunaikan kewajiban shalat isya malam ini. Serasa mata
ini ingin sekali memejamkan kelopaknya kerana seharian bekerja. Air dalam dispenser segera kupanasi untuk membuat
segelas teh madu yang akan menemaniku dalam penjelajahan buku yang akan kubaca
malam ini. Entah mengapa buku yang kubeli akhir-akhir ini pembahasannya tak
jauh dari percintaan dalam Islam. Buku yang kubaca ini sekaligus menjadi
tamparan bagiku dimana aku pernah terjerumus dalam sebuah kata “Pacaran”. Tak perlu lah dijelaskan
bagaimana pacaran itu seperti apa, semua orang sudah tau bahkan sudah bisa
membandingkan bagaimana positif dan negatifnya pacaran itu. Mungkin bagi para pelaku pacaran menganggap pacaran
juga banyak positifnya, bisa saling mengingatkan entah belajar ataupun
beribadah, saling support ketika salah seorang sedang low motivation, dan lain sebagainya. Tapi cobalah kita lihat tentang
dampak yang di akibatkan oleh pacaran dari segi apapun termasuk dari segi
agama. Jika ada penyataan “Itu semua kan
tergantung sama orangnya bisa jaga hubungan atau tidak”, saya sangat setuju
dengan pernyataan tersebut. Kembali lagi pada fitrah nafsu yang melekat pada
jiwa manusia, bukankah nafsu yang melekat pada jiwa itu sangat susah dijaga?
Dan apakah kita yakin mampu menjaga nafsu kita? Itulah yang menjadi poin
penting. “Janganlah kalian mendekati
zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS
Al-Isra:32)
Segala
hal yang pernah kita alami memang seharusnya jadi pembelajaran bagi kita untuk
menjadi semakin lebih baik lagi. Bukan selalu menyesalkan akan semua yang telah
terjadi akan tetapi bersegera memperbaiki dan menyiapkan diri untuk masa yang
akan datang. Aku sendiri mencoba berusaha memperbaiki diri, move on dari kata pacaran dan mulai
belajar untuk mempersiapkan aku yang nanti akan jadi pemimpin bagi keluargaku. Entah
mengapa beberapa waktu ini banyak sekali inspirasi untuk menikah di usia muda
baik di sosial media yang ku punya ataupun dari beberapa buku yang aku baca.
Gairah itupun muncul dalam benakku yang seolah-olah memaksaku untuk mengikuti
jejak mereka yaitu menikah di usia muda. Akan tetapi kembali aku tersadarkan bahwa
menikah bukan hanya saling mengalungkan cincin pada jari manis pasangan, tapi
saling mengikat komitmen untuk bersama-sama berjuang di dunia mencari jalan
pulang ke surga dan mencurahkan ekspresi cinta dalam bingkai kehalalan. Begitu
indahnya jika kita bayangkan tentang sebuah pernikahan, tentang mesra nya senda
gurau suami istri, manisnya sambutan senyum disertai satu gelas teh hangat
sepulang kerja, dan bahkan romantisnya ketika melihat suami menjadi imam
seorang istri. “Ya Allah saat ini aku
hanya bisa membayangkan manisnya pernikahan, semoga engkau percepat aku menuju
indahnya pernikahan aamiin”.
Maka
yang menjadi pilihanku sekarang adalah menyiapkan sebaik mungkin sebelum datang
waktunya nanti aku bertemu dengan jodohku. “Perempuan-perempuan
yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk
perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan
yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka
memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS An-Nur 26). Tak ada
seorang pun didunia ini yang menolak perempuan baik untuk menjadi pendamping di
hidupnya. Maka sudah sepantasnya kita memantaskan diri agar bisa mendapatkan
sesorang yang baik menurut Allah, kita berjuang memperbaiki diri sampai tiba
saatnya nanti kita mendapati sebuah janji suci. Jika ada orang yang mengatakan “Jodoh kita adalah cerminan kita” maka
kembali aku katakan aku sependapat akan hal itu. Aku sependapat karena hal
tersebut sangat berkaitan dengan apa yang dijelaskan di Al Quran tadi surat
An-Nur ayat 26 yaitu perempuan yang baik untuk lelaki yang baik begitupun
sebaliknya.
“Kata Umar bin Khattab, salah satu
hak calon anak kita yang harus kita tunaikan adalah dipilihkan ibu yang baik”.
Setiap orang mempunyai persepsi masing-masing mengenai ibu yang baik itu
seperti apa. Apapun persepsi itu ibu yang baik adalah ia yang mampu mendidik
anak selalu dekat dengan Tuhannya dan yang mampu menjadi seseorang dibalik
kesuksesan suami. “Sepertinya blusukan
meniru gaya Presiden Jokowi demi mencari ibu yang baik harus kita coba. Hehe”
Aku
teringat waktu pertama kali aku akan berangkat bekerja di Jakarta, kakekku
pernah berpesan “Kamu hati-hati disana,
karena lingkunganmu non muslim jangan cari jodoh perempuan non muslim”.
Sontak hal itu membuatku tertawa karena melihat seorang kakek yang sedang cemas
mengenai jodoh dari cucunya. Hal ini sejalan dengan hadist “Wanita dinikahi karena 4 hal: Karena hartanya, karena kedudukannya,
karena cantiknya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang
baik agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian niscaya kamu merugi.”
(HR. Bukhari-Muslim). Pernyataan kakek secara tidak langsung amat mendalam
berharap cucunya tidak merugi dalam hidupnya dan juga mengikuti ajaran rasul
Muhammad SAW dalam pemilihan seorang wanita unruk dijadikan seorang istri.
Seringkali
mata ini dibuat terkagum-kagum seolah tak mau berkedip apabila melihat seorang
wanita berparas cantik dengan jilbab yang menjulur menutupi badannya. Rasanya
tak mampu diri ini menundukkan pandangan dan tak terasa bibir ini berucap masyaAllah
dengan spontan. Kembali aku teringat “Wahai
para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka
hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka
hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai
baginya” (HR. Bukhari-Muslim). Hadist tersebut menjelaskan kepada kalian
yang sudah mampu maka menikahlah dan mampu tidak akan bisa diukur oleh orang
lain. Kita sendiri yang bisa menilai apakah kita sudah mampu atau belum
mengemban amanah pernikahan. Jika mampu diukur dari segi materi maka Allah
memperjelas lagi dalam QS. An-Nur ayat 32 “...Jika
mereka miskin niscaya Allah akan memampukan mereka (menjadikan mereka kaya) dengan
karunia-Nya...”.
Sudah
jelas terlihat akan indahnya pernikahan dan merayakan cinta dalam kehalalan.
Allah pun sudah menjamin akan dibukakan pintu rezeki lebih bagi yang mau
menikah. Tapi kembali lagi bahwa itu semua adalah pilihan kita masing-masing antara
menikah dengan segera atau bersabar dalam menunggu pernikahan. Aku sendiri
masih memilih bersabar dalam menunggu pernikahan. Aku harus berjuang
menundukkan pandangan dan harus mampu menjadikan puasa sebagai perisai dalam
derasnya nafsu. Aku selalu kagum terhadap mereka yang memilih menikah untuk
menjaga pandangan dan kemaluan. Apapun itu, pilihan yang kita buat adalah untuk
diri kita sendiri dan menjadikan kita lebih baik lagi. Semangat untuk menjadi
lebih baik lagi harus selalu kita genggam erat dan harus kita bawa kapanpun dan
dimanapun kita berada. Semoga semua pilihan yang kita pilih benar-benar baik
dimata diri kita sendiri dan Allah. Aamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar