Hari
sabtu adalah hari yang selalu kugunakan untuk bersih-bersih kamar kos di setiap
minggunya. Tak terlewatkan pula tas lusuh yang kubeli sewaktu kuliah dulu dari acara
sapu bersih ini. Kutemukan satu gambar yang tercetak dalam foto dimana aku
sedang bermain digendong bapak, dengan senyuman dan kumis tipis yang bapak
punya kala itu seakan tak ada kebahagiaan lain selain bisa bermain dengan anak
pertamanya. Foto hitam putih yang penuh warna itu selalu bisa membuatku berkaca-kaca
ketika menatapnya. Seakan saat ini aku kehilangan masa dimana aku bisa tertawa lepas
dengan bapak, ya karena sekarang aku yang sudah mulai bekerja di luar kota maka
waktu dengan keluarga harus sedikit tergadaikan.
Bapak
adalah seorang guru lulusan SPK di Sekolah Dasar, sebuah desa yang terletak 20km
dari kabupaten Wonosobo. Delapan tahun bapak mengabdi menjadi tenaga honorer
yang mana harus berjalan kaki sejauh 4km dari transit angkutan terakhir menuju
tempat bekerjanya. Keteguhan hati beliau untuk mengabdi kepada negara dan tentu
agama sebagai guru mengalahkan jarak yang harus ia tempuh dan sunyi yang
menemani dalam gelap dimana saat itu kala tahun 1990-1998 handphone hanya kaum borjuis yang memiliki bahkan listrik pun masih
dalam harapan untuk bisa menerangi desa disana.
Sedangkan
ibu adalah kembang desa dimana terlahir dari keluarga yang amat sederhana,
keluarga yang lebih mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya. Ibu adalah
seorang lulusan sekolah menengah atas di kabupaten Wonosobo. Dikala banyak yang
lebih memilih membeli motor atau mempercantik rumah, saat itu mbah lebih memilih untuk berjuang agar
anaknya bisa merasakan pendidikan setinggi-tingginya meski hanya sampai
menengah atas. Patut menjadi contoh ketika sebuah keluarga mampu membiayai
keempat anaknya sampai menengah atas yang saat itu banyak orang tak mampu
bahkan tak mau untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya.
Aku,
bapak, ibu, dan adik tinggal dalam sebuah rumah sempit berukuran 5x6 meter di
antara bangunan di SD yang bapak ajar. Sebuah rumah dinas yang digunakan bagi
guru yang berasal dari luar daerah Wonosobo. Disana aku dibesarkan, di sebuah
desa yang perjalanan dari terminal kabupaten sampai desa ku menempuh 2 jam
perjalanan. Yah memang selama itu perjalanannya karena transportasi yang masih
susah hanya ada beberapa bus mini yang setiap 5km berhenti untuk mangkal
menunggu penumpang dan ditambah lagi track pegunungan yang berbelok-belok naik
turun membuat semakin memakan waktu. Pernah suatu ketika aku dibuat tertawa
oleh teman kuliah yang mempertanyakan apakah desa ini masih masuk Indonesia
karena suasana pegunungan yang amat dingin dan jarak yang teramat jauh dari
pusat kabupaten. “Lihatlah anak desa ini
yang tak kalah semangat denganmu anak kota dalam menggapai masa depan”
bisikku dalam hati.
Aku
sangat bersyukur melewati masa kecil di sebuah pelosok desa ini, banyak
pelajaran yang bisa diambil disini. Jika aku berani bertaruh mungkin aku
menjadi anak kecil yang paling bahagia karena banyak orang yang selalu
mengajakku bermain. Desa ku masih menggunakan kalender jawa yang mana pada
setiap pahing dan wage terdapat pusat perbelanjaan yang
menjual apapun disana mulai dari pakaian, sayur-mayur, perkakas, bahkan bahan
bangunan pun ada. Memang pasar tersebut adalah pasar yang menopang perekonomian
beberapa kelurahan di kecamatan kami. Aku masih ingat dimana setiap selesai
pasar pukul 12.00 aku selalu diajak bermain seorang kuli pasar ke rumahnya dan
nanti ketika sore hari nanti ibu akan datang untuk menjemputku. Tak jarang aku
juga dibawa pulang oleh pedagang bahan bangunan dipasar untuk bermain di
rumahnya.
Waktu
silih berganti, tiba saatnya aku memasuki dunia sekolah. Mungkin jika
teman-teman berada di kota maka tahapan sekolah pertama adalah TK atau bahkan
playgroup, tapi aku yang kala itu di sebuah pelosok desa maka bapak
memasukkanku langsung ke tahap SD dan aku dengan terpaksa harus mengulang 1
tahun di kelas satu sebagai pengganti masa di TK. Bapak yang kala itu sebagai
guru di SD tersebut membuat masa-masa pendidikan di SD berjalan lancar bahkan
aku tak pernah lepas dari peringkat 2 besar. Bapak adalah seorang yang keras
dan disiplin dalam mendidik anak, tak jarang dalam belajar yang bapak jadwalkan
setiap hari setelah shalat isya aku keluarkan jurus tangisan untuk meredam
bentakan bahkan tamparan dari bapak. Hal yang bapak lakukan itu bukanlah sebuah
pelanggaran HAM yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan tetapi sebuah
tanggung jawab seorang bapak yang ingin anaknya sukses dengan pendidikan
langsung darinya.
Memasuki
masa SMP bapak pernah di sarankan oleh beberapa temannya bahwa aku lebih baik
di sekolahkan menengah pertama di kabupaten saja yang mungkin jauh lebih baik bukan
di desa. Bukan bapak tak mampu mensekolahkan aku di kabupaten tapi bapak masih
berprinsip untuk mau mendidik dan mengontrol belajarku sehingga aku tetap
melanjutkan masa sekolah menengah pertama di desa yang sama dengan masa SD. Bapak
adalah seorang yang tau tentang kelemahanku yang harus di kuatkan dan
kekuatanku yang harus ditingkatkan dalam pelajaran. Bapak tau aku suka dengan
matematika dan lemah dalam bahasa inggris, sehingga aku disarankan untuk
menambah jam belajarku dengan teman bapak seorang guru SMP di lain sekolahku.
Teringat ketika bapak masuk kamarku untuk meminjam pensil tergeletak soal try
out ujian matematika di meja belajar yang ia lihat. Bapak kemudian memanggilku
dan membahas semalaman soal matematika yang saat itu aku salah dalam memilih
jawaban. “Andai engkau tak
mengingatkanku, maka anakmu ini kehilangan 2,5 poin dari 40 soal matematika.
Terimakasih bapak.”
Ibu
adalah seorang yang luar biasa bagiku, ia sebagai seorang yang melembutkan
suasana hatiku dari kerasnya sifat bapak. Ibu yang setiap hari berjualan
jajanan di SD yang bapak ajar menjadikan ibu menjadi manusia super sibuk dalam keluarga.
Setiap hari ibu bangun jam 4 pagi untuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya
dan nasi goreng, soto, aneka macam gorengan yang akan ia jual. Tak lupa tugas
beliau setiap pagi adalah membangunkan suami dan anaknya untuk shalat subuh.
Tugasku setiap hari adalah membawa jajanan yang ibu buat dari rumah ke tempat dimana
terdapat dua buah meja untuk ibu berjualan sekaligus menyiapkan aneka jajanan
warungnya. Tak jarang ia sampai pukul 10 malam untuk menyiapkan bumbu atau
adonan yang akan ia gunakan untuk masak esok pagi. Ibu sebenarnya tak perlu
untuk mencari tambahan nafkah bagi keluarga, dengan mengandalkan pendapatan
bapak pun masih bisa untuk bertahan hidup. Tapi ibu tetap dengan pendiriannya
mencari aktivitas yang bermanfaat dan membantu bapak menyiapkan tabungan bagi
pendidikan anaknya kelak.
Aku
sempat marah ketika bapak yang janji akan membelikanku sepeda motor dan laptop
ketika masuk SMA tak kunjung di tepati. Saat itu aku belum berfikir tentang
kemungkinan orang tua yang sedang banyak kebutuhan sehingga kebutuhan anak yang
dirasa belum terlalu menjadi prioritas harus di korbankan. Aku mencoba
menikmati kehidupan yang kupunya dimana banyak dari temanku yang sudah bisa
menenteng laptop disela pergantian kelas di sekolah dan aku yang masih harus bergelantungan
dipintu bus mini setiap sabtu sore pulang dari kos karena harus berdesakan
dengan penumpang lain ketika banyak dari teman bermain gas dengan motor kesayangannya. Bapak rela menanggung
kemarahan anaknya demi sebuah pelajaran berharga yang kelak tak tau kapan
anaknya baru mengerti pelajaran itu.
Entah
alasan apa yang mendasari bapak dan ibu untuk tidak segera membuat rumah
sendiri dan memilih untuk tetap tinggal di rumah dinas. Bapak baru mulai
membangun rumah ketika aku masuk kelas 3 SMA dan harus tertunda 3 tahun karena untuk
biaya aku kuliah di D3 Keperawatan. Bapak lebih memilih pendidikan anaknya
sebagai prioritas pertama meskipun pendidikan yang di tempuh di masa kuliah
bukan menjadi pilihan dari anaknya. Aku sekali lagi harus menerima keputusan
dimana aku harus belajar di bidang yang bukan aku senangi, hanya ibu yang saat
itu bisa menguatkanku dari beratnya keputusan bapak yang harus aku jalani. “Bapak memutuskan itu dengan pertimbangan
yang panjang untuk kehidupanmu kelak, berdoa mohon petunjuk kepada Allah” kata
ibu menenangkanku. Cukup lama aku mengiyakan keputusan bapak ini dan akhirnya
akupun dengan mantap masuk ke dunia perkuliahan dengan restu bapak dan ibu.
Aku
bisa melihat raut kebahagiaan bapak dan ibu ketika aku mampu menjadi sambutan
wisudawan dan pengumuman aku diterima kerja sehari sebelum wisuda. Kekhawatiran
beliau sudah terkurangi dengan anaknya yang mendapatkan pekerjaan sebelum
wisuda. Ada tangis kebahagiaan dari seorang anak yang selama ini dididik dari
keluarga yang sederhana ini. Bapak ibu pun turut mengantarkanku sampai ke
terminal keberangkatan ketika aku akan berangkat ke Jakarta untuk bekerja di
sebuah rumah sakit Internasional. Meskipun dari SMA aku sudah terbiasa hidup
sendiri di kos, perjalanan baru ke Jakarta untuk merantau bekerjapun serasa
berat sekali. “Kamu harus mulai
menanggung tanggung jawab sendiri, menanggung segala resiko yang akan kamu
jalani, dan berceritalah nak ketika kau tak mampu. Aku akan membantumu meski
hanya sebuah saran” tersirat pesan dari tatapan bapak terakhir.
Baru
satu bulan yang lalu aku pulang ke rumah di Wonosobo, Jawa Tengah. Aku pulang
bukan karena ingin merasakan dingin dan sejuknya suasana disana tetapi ingin
merasakan hangatnya suasana didalam rumah. Hangat ketika tempe kemul khas Wonosobo
yang baru diangkat dari wajan penggorengan dipadukan dengan teh madu buatan ibu
menemani obrolan malam ba’da maghrib. Tak ada kesedihan disana hanya ada tawa,
harapan, dan kebahagiaan dari kami satu keluarga. Memang sengaja aku pulang
setelah 6 bulan berada di Bandung untuk merasakan belenggu rindu akan hangat
rumah.
Aku
merasakan kasarnya telapak tangan bapak dan ibu ketika kucium punggung telapak
tangan mereka. Tak ada kegembiraan yang luar biasa selain melihat raut wajah
bahagia orang tua yang menyambut anaknya pulang. Tak habis obrolan semalaman,
tak pula habis bahan diskusi dengan bapak ibu, dan satu hal yang selalu buat
kami tertawa adalah ketika aku mulai menyentil
tentang permintaan menikah. Kadang aku diajak diskusi untuk menentukan masa
depan pendidikan adikku, bapak dan ibu adalah orang yang selalu khawatir akan
pendidikan anaknya dan masa ini aku mulai merasakan kegelisahan mereka.
Banyak
hal yang menjadikan mata ini serasa ingin meneteskan air mata. Ketika ibu mengusap
peluh lelah sehabis mencuci pakaian atau ketika bapak harus mual muntah karena
masuk angin setelah terguyur dinginnya air hujan saat perjalanan menggunakan
motor. Aku tau ibu mampu membeli mesin cuci untuk mencuci pakaian yang
menggunung dan aku pun tau bapak mampu membeli mobil agar tak selalu kehujanan
dan kepanasan. Tapi beliau memilih untuk tidak membelinya, “toh masih bisa nyuci sendiri, toh masih ada jas hujan jika kehujanan”
ujar beliau. Dalam usia yang menginjak dewasa ini aku kembali ditampar beliau,
ketika anaknya berusaha mencari hidup yang layak (berlindung dari kata
kekayaan) justru orang tuanya masih bertahan dalam kehidupan dalam
kesederhanaan. Dalih “hidup itu asal
cukup” tak mampu menggoyahkan kekhawatiran manusia akan kecukupan kehidupan
material di dunia.
Aku
harus kembali berangkat merantau untuk mencari pelajaran dari seluruh apa yang
kulihat dan kudengar. Kembali aku harus merasakan dinginnya kesendirian tanpa
nasihat dari bapak atau ibu. Anak pelosok desa ini berjanji akan membuat engkau
bangga pak bu. Aku bahkan tak tau bagaimana membalas semua hal yang telah kau
berikan padaku. Aku hanya ingin membuat engkau selalu tersenyum dan bangga
ketika melihat anakmu, ketika bersua dalam telephon,
atau bahkan ketika engkau mendengar kabarku dari orang lain.
Caraku
berbakti kepadamu adalah dengan kuselipkan doa disetiap akhir shalatku. Aku ingin menjadi anak yang berbakti
kepadamu. Terimakasih engkau telah menunjukkan ku arti perjuangan hidup dimana
engkau rela bekerja keras dan menggadaikan semua inginmu demi pendidikan yang
layak bagi anakmu. Terimakasih telah kau tunjukkan arti kesederhanaan dalam
hidup dimana banyak orang yang tergila-gila mengejar dunia engkau masih memilih
hidup dalam kesederhanaan. Semoga anakmu ini bisa menjadi anak yang selalu
engkau banggakan, selalu kau sebut dalam doamu, dan kelak bisa menjadi cahaya
dalam kehidupan setelah dunia ini.
“Dan katakanlah kepada keduanya
perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh
kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana
keduanya menyayangiku diwaktu kecil” (QS Al-Isra; 24)”.
Salam
rindu dari anakmu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar