Aku
terlahir dan besar di sebuah kabupaten di Jawa Tengah, Wonosobo. Kabupaten yang
terkenal dengan dataran tinggi dieng dan buah carica nya. Masa indah yang kuhabiskan di sini semenjak aku SD
sampai aku menginjak bangku SMA. Aku mulai bertualang mencari ilmu ke Semarang
setelah aku menyelesaikan masa SMA ku. “Nama
saya Akbar Wicaksono dan saya berasal dari Wonosobo, ada yang mau di tanyakan?”
buka ku memperkenalkan diri di depan teman baru ku di kampus. Rasa malu yang
masih tergambar karena berkumpul dengan orang baru membuat perkenalan ini
menjadi komunikasi satu arah layaknya dosen yang hanya menjelaskan tanpa ada
tanggapan. “Akbar, apa makanan khas dari
kota mu?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari dosenku. “emm makanan khas dari Wonosobo ada tempe
kemul, mie ongklok, dan buah carica” jawabku sekenanya. Yah memang ketiga
makanan itu yang menjadi andalanku ketika ditanya masalah makanan khas dari
kotaku. Renyah dan gurihnya tempe kemul bersama dengan teh hangat kala sore
hari menjadi menu wajib berkumpul dengan keluarga.
Aku
mulai beradaptasi dengan lingkungan kampus yang baru dimana suasana kota
Semarang yang panas di bandingkan dengan di kampung serta transformasi bahasa dari ngapak ke bahasa semarangan (fiuuh itu membuatku sedikit canggung). Semarang
yang dijuluki kota atlas (Aman, tertib,lancar,asri,dan sehat) ini sepertinya
sudah mulai bergeser menjadi kota yang sering mengalami kemacetan karena
padatnya penduduk disana. Rasanya 3 tahun aku di Semarang membuatku merasa
nyaman berada di kota ini, bahkan aku dulu bercita-cita untuk bisa bekerja sebagai
perawat di salah satu rumah sakit milik pemerintah yang sudah terakreditasi
internasional di Semarang RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Semasa
kuliah rumahku menjadi rumah yang paling sering di kunjungi teman-teman diwaktu
liburan. Mereka yang sering datang kerumah beralasan karena suasana di Wonosobo
dingin, sejuk, dan nyaman untuk menenangkan diri sewaktu liburan. Aku kerap
menjadi tour guide mereka ketika
datang ke rumah, diawali pagi dengan teh hangat berpadu tempe kemul kami mulai
berdiskusi kemana akan berwisata hari itu. Jendela yang berlatar gunung Sindoro
dan gunung Sumbing mengacaukan diskusi kami karena matahari yang merekah
diantaranya, tak pelak kamera handphone
mereka mulai mengabadikan moment ini. Pukul 10.00 kami mulai perjalanan ke
candi Dieng yang memiliki 8 candi dalam satu kawasan, suasana mendung agaknya
sedikit menolong kami dari panasnya matahari yang menyengat. Beberapa jam disana
kami kemudian melanjutkan perjalanan ke kawah Sikidang, kawah ini pada waktu
tertentu (biasanya 4 tahun sekali) akan
berpindah atau melompat dalam satu kawasan. Inilah mengapa kawah ini disebut
kawah Sikidang seperti karakter Kidang (Kijang
dalam bahasa jawa) yang suka melompat.
Rintik
hujan mulai membasahi jaket kami, adzan dzuhur pun terdengar sehingga kami
melakukan shalat sekaligus berteduh dari hujan yang cukup deras. Usai shalat rasanya
ada bunyi dalam perut kami, ya ternyata kami mulai merasa lapar sehingga kami
menyebrang ke tempat makan untuk makan siang. Mie ongklok lah yang menjadi menu
santapan siang ini, dalam dingin kabut dan deras hujan suhu saat itu 14°
sehingga dalam sekejap teh panas yang kami pesan menjadi tak panas lagi. “Apa itu mie ongklok?” terdengar lirih
suara teman di telingaku. “Mie yang
diramu dengan sayuran kol segar dan potongan daun kucai, kemudian mie direbus dicelupkan
secara berulang dalam air mendidih menggunakan bantuan anyaman bambu kecil
bernama ongklok, setelah itu nanti diguyur kuah, nah kuah ini yang bikin beda, cuma
ada di Wonosobo deh, nanti ketika makan bisa dengan sate atau tempe kemul”
jawabku sekenanya.
Hujan
mulai reda, kami lanjutkan ke wisata terakhir yaitu Telaga Warna. Keunikan fenomena
alam yang terjadi di tempat ini, yaitu warna air dari telaga tersebut yang
sering berubah-ubah terkadang berwarna hijau dan kuning atau berwarna-warni
seperti pelangi. Hal ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup
tinggi, sehingga saat sinar matahari mengenainya maka warna air telaga nampak
berwarna-warni. “Tempat ini menjadi spot
fotografi yang bagus untuk nanti bisa di pamerkan pada teman-taman kampus yang
tidak ikut” temanku menimpal. Terdengar pengamen yang bernyanyi “no women no cry” punya Bob Marley,
kamipun menghampiri dan bernyanyi bersama sampai kira-kira waktu ashar tiba. “Ah itu moment yang tak terlupakan”
Kami
bersiap untuk mendaki bukit Sikunir yang memiliki golden sunrise sore ini. Dalam dingin malam kami mulai naik ke
bukit dan mendirikan tenda disana. Shalat subuh menjadi awal pagi hari kami,
berharap sebentar lagi Tuhan menunjukkan kuasaNya dalam penciptaan yang amat
indah. Benar saja kami bisa melihat golden
sunrise disini.
Perjalanan
sebagai tour guide teman kampus
menjadi salah satu strategiku dalam menunjukkan indahnya kota ku. Tak lupa juga
aku kenalkan ritual pemotongan rambut gembel
yang masih banyak terdapat di masyarakat atau biasanya ada dalam acara
Dieng Culture Festival yang digelar tiap tahun.
Jakarta,
menjadi tempat selanjutnya yang aku singgahi setelah aku menempuh pendidikan di
Semarang selama 3 tahun. Kota metropolitan nomor satu di Indonesia ini menjadi
tempat belajarku menempa kehidupan nyata. Biaya hidup yang mahal, kemacetan
terjadi dimana-mana, dan kultur manusia yang berasal dari berbagai tempat
rasanya asing dan susah bagiku untuk menerimannya. Mungkin disinilah tempat survive yang paling tepat untuk para
pemula sepertiku. Sembilan bulan aku berada disini dalam kota yang super sibuk.
Mau tak mau aku harus menjalani kehidupanku disini, bertarung dengan rasa tak
nyaman harus ku lakukan demi pembelajaran untuk masa depan.
Bandung
adalah tempat selanjutnya yang aku singgahi setelah 9 bulan aku di Jakarta. Suasana
dingin dan sejuk mengingatkanku dengan kampung halaman Wonosobo. Cafe yang
berjejeran di pinggiran jalan menunjukkan tingkat konsumtif akan kuliner masyarakat
disini sangat tinggi. Akan amat rugi jika berkunjung ke Bandung tidak menjajali
kulinernya satu persatu. Terlebih wisata alam yang berada di pinggiran Bandung
menambah istimewanya kota ini. Banyak kajian Islam disini yang membuat waktu
luang kita bisa bermanfaat seperti Aa gym dan majelis Pemuda Hijrah yang mana
selalu memenuhi masjid dengan seluruh muda-mudi Bandung. Masih banyak lagi
kajian Islam disini yang bahkan membuatku bingung untuk mengikuti yang mana.
Indahnya
kota lain tak membuat mata dan batinku buta dengan kotaku sendiri. Aku tetap
merasa rindu dengan suasana di kampung halamanku, bukan hanya karena suasana dan
indahnya kota tetapi juga ada dua malaikat yang membesarkanku disana. Memang Wonosobo
yang berjuluk “Negeri diatas Awan”
ini menjadi tempat terindah untuk menua dengan segala macam keindahannya. Meskipun
saat ini hanya bisa pulang mungkin setiap 3 bulan tapi semoga kelak masih ada
waktu untuk bisa menikmati hidup disana.