Sabtu, 28 Januari 2017

Negeri diatas Awan; Wonosobo

Aku terlahir dan besar di sebuah kabupaten di Jawa Tengah, Wonosobo. Kabupaten yang terkenal dengan dataran tinggi dieng dan buah carica nya. Masa indah yang kuhabiskan di sini semenjak aku SD sampai aku menginjak bangku SMA. Aku mulai bertualang mencari ilmu ke Semarang setelah aku menyelesaikan masa SMA ku. “Nama saya Akbar Wicaksono dan saya berasal dari Wonosobo, ada yang mau di tanyakan?” buka ku memperkenalkan diri di depan teman baru ku di kampus. Rasa malu yang masih tergambar karena berkumpul dengan orang baru membuat perkenalan ini menjadi komunikasi satu arah layaknya dosen yang hanya menjelaskan tanpa ada tanggapan. “Akbar, apa makanan khas dari kota mu?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari dosenku. “emm makanan khas dari Wonosobo ada tempe kemul, mie ongklok, dan buah carica” jawabku sekenanya. Yah memang ketiga makanan itu yang menjadi andalanku ketika ditanya masalah makanan khas dari kotaku. Renyah dan gurihnya tempe kemul bersama dengan teh hangat kala sore hari menjadi menu wajib berkumpul dengan keluarga.

Aku mulai beradaptasi dengan lingkungan kampus yang baru dimana suasana kota Semarang yang panas di bandingkan dengan di kampung serta transformasi bahasa dari ngapak ke bahasa semarangan (fiuuh itu membuatku sedikit canggung). Semarang yang dijuluki kota atlas (Aman, tertib,lancar,asri,dan sehat) ini sepertinya sudah mulai bergeser menjadi kota yang sering mengalami kemacetan karena padatnya penduduk disana. Rasanya 3 tahun aku di Semarang membuatku merasa nyaman berada di kota ini, bahkan aku dulu bercita-cita untuk bisa bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit milik pemerintah yang sudah terakreditasi internasional di Semarang RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Semasa kuliah rumahku menjadi rumah yang paling sering di kunjungi teman-teman diwaktu liburan. Mereka yang sering datang kerumah beralasan karena suasana di Wonosobo dingin, sejuk, dan nyaman untuk menenangkan diri sewaktu liburan. Aku kerap menjadi tour guide mereka ketika datang ke rumah, diawali pagi dengan teh hangat berpadu tempe kemul kami mulai berdiskusi kemana akan berwisata hari itu. Jendela yang berlatar gunung Sindoro dan gunung Sumbing mengacaukan diskusi kami karena matahari yang merekah diantaranya, tak pelak kamera handphone mereka mulai mengabadikan moment ini. Pukul 10.00 kami mulai perjalanan ke candi Dieng yang memiliki 8 candi dalam satu kawasan, suasana mendung agaknya sedikit menolong kami dari panasnya matahari yang menyengat. Beberapa jam disana kami kemudian melanjutkan perjalanan ke kawah Sikidang, kawah ini pada waktu tertentu (biasanya 4 tahun sekali) akan berpindah atau melompat dalam satu kawasan. Inilah mengapa kawah ini disebut kawah Sikidang seperti karakter Kidang (Kijang dalam bahasa jawa) yang suka melompat.

Rintik hujan mulai membasahi jaket kami, adzan dzuhur pun terdengar sehingga kami melakukan shalat sekaligus berteduh dari hujan yang cukup deras. Usai shalat rasanya ada bunyi dalam perut kami, ya ternyata kami mulai merasa lapar sehingga kami menyebrang ke tempat makan untuk makan siang. Mie ongklok lah yang menjadi menu santapan siang ini, dalam dingin kabut dan deras hujan suhu saat itu 14° sehingga dalam sekejap teh panas yang kami pesan menjadi tak panas lagi. “Apa itu mie ongklok?” terdengar lirih suara teman di telingaku. “Mie yang diramu dengan sayuran kol segar dan potongan daun kucai, kemudian mie direbus dicelupkan secara berulang dalam air mendidih menggunakan bantuan anyaman bambu kecil bernama ongklok, setelah itu nanti diguyur kuah, nah kuah ini yang bikin beda, cuma ada di Wonosobo deh, nanti ketika makan bisa dengan sate atau tempe kemul” jawabku sekenanya.

Hujan mulai reda, kami lanjutkan ke wisata terakhir yaitu Telaga Warna. Keunikan fenomena alam yang terjadi di tempat ini, yaitu warna air dari telaga tersebut yang sering berubah-ubah terkadang berwarna hijau dan kuning atau berwarna-warni seperti pelangi. Hal ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar matahari mengenainya maka warna air telaga nampak berwarna-warni. “Tempat ini menjadi spot fotografi yang bagus untuk nanti bisa di pamerkan pada teman-taman kampus yang tidak ikut” temanku menimpal. Terdengar pengamen yang bernyanyi “no women no cry” punya Bob Marley, kamipun menghampiri dan bernyanyi bersama sampai kira-kira waktu ashar tiba. “Ah itu moment yang tak terlupakan”

Kami bersiap untuk mendaki bukit Sikunir yang memiliki golden sunrise sore ini. Dalam dingin malam kami mulai naik ke bukit dan mendirikan tenda disana. Shalat subuh menjadi awal pagi hari kami, berharap sebentar lagi Tuhan menunjukkan kuasaNya dalam penciptaan yang amat indah. Benar saja kami bisa melihat golden sunrise disini.

Perjalanan sebagai tour guide teman kampus menjadi salah satu strategiku dalam menunjukkan indahnya kota ku. Tak lupa juga aku kenalkan ritual pemotongan rambut gembel yang masih banyak terdapat di masyarakat atau biasanya ada dalam acara Dieng Culture Festival yang digelar tiap tahun.

Jakarta, menjadi tempat selanjutnya yang aku singgahi setelah aku menempuh pendidikan di Semarang selama 3 tahun. Kota metropolitan nomor satu di Indonesia ini menjadi tempat belajarku menempa kehidupan nyata. Biaya hidup yang mahal, kemacetan terjadi dimana-mana, dan kultur manusia yang berasal dari berbagai tempat rasanya asing dan susah bagiku untuk menerimannya. Mungkin disinilah tempat survive yang paling tepat untuk para pemula sepertiku. Sembilan bulan aku berada disini dalam kota yang super sibuk. Mau tak mau aku harus menjalani kehidupanku disini, bertarung dengan rasa tak nyaman harus ku lakukan demi pembelajaran untuk masa depan.

Bandung adalah tempat selanjutnya yang aku singgahi setelah 9 bulan aku di Jakarta. Suasana dingin dan sejuk mengingatkanku dengan kampung halaman Wonosobo. Cafe yang berjejeran di pinggiran jalan menunjukkan tingkat konsumtif akan kuliner masyarakat disini sangat tinggi. Akan amat rugi jika berkunjung ke Bandung tidak menjajali kulinernya satu persatu. Terlebih wisata alam yang berada di pinggiran Bandung menambah istimewanya kota ini. Banyak kajian Islam disini yang membuat waktu luang kita bisa bermanfaat seperti Aa gym dan majelis Pemuda Hijrah yang mana selalu memenuhi masjid dengan seluruh muda-mudi Bandung. Masih banyak lagi kajian Islam disini yang bahkan membuatku bingung untuk mengikuti yang mana.


Indahnya kota lain tak membuat mata dan batinku buta dengan kotaku sendiri. Aku tetap merasa rindu dengan suasana di kampung halamanku, bukan hanya karena suasana dan indahnya kota tetapi juga ada dua malaikat yang membesarkanku disana. Memang Wonosobo yang berjuluk “Negeri diatas Awan” ini menjadi tempat terindah untuk menua dengan segala macam keindahannya. Meskipun saat ini hanya bisa pulang mungkin setiap 3 bulan tapi semoga kelak masih ada waktu untuk bisa menikmati hidup disana. 

Minggu, 08 Januari 2017

Kesederhanaan dari Ibu dan Bapak


Hari sabtu adalah hari yang selalu kugunakan untuk bersih-bersih kamar kos di setiap minggunya. Tak terlewatkan pula tas lusuh yang kubeli sewaktu kuliah dulu dari acara sapu bersih ini. Kutemukan satu gambar yang tercetak dalam foto dimana aku sedang bermain digendong bapak, dengan senyuman dan kumis tipis yang bapak punya kala itu seakan tak ada kebahagiaan lain selain bisa bermain dengan anak pertamanya. Foto hitam putih yang penuh warna itu selalu bisa membuatku berkaca-kaca ketika menatapnya. Seakan saat ini aku kehilangan masa dimana aku bisa tertawa lepas dengan bapak, ya karena sekarang aku yang sudah mulai bekerja di luar kota maka waktu dengan keluarga harus sedikit tergadaikan.

Bapak adalah seorang guru lulusan SPK di Sekolah Dasar, sebuah desa yang terletak 20km dari kabupaten Wonosobo. Delapan tahun bapak mengabdi menjadi tenaga honorer yang mana harus berjalan kaki sejauh 4km dari transit angkutan terakhir menuju tempat bekerjanya. Keteguhan hati beliau untuk mengabdi kepada negara dan tentu agama sebagai guru mengalahkan jarak yang harus ia tempuh dan sunyi yang menemani dalam gelap dimana saat itu kala tahun 1990-1998 handphone hanya kaum borjuis yang memiliki bahkan listrik pun masih dalam harapan untuk bisa menerangi desa disana.

Sedangkan ibu adalah kembang desa dimana terlahir dari keluarga yang amat sederhana, keluarga yang lebih mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya. Ibu adalah seorang lulusan sekolah menengah atas di kabupaten Wonosobo. Dikala banyak yang lebih memilih membeli motor atau mempercantik rumah, saat itu mbah lebih memilih untuk berjuang agar anaknya bisa merasakan pendidikan setinggi-tingginya meski hanya sampai menengah atas. Patut menjadi contoh ketika sebuah keluarga mampu membiayai keempat anaknya sampai menengah atas yang saat itu banyak orang tak mampu bahkan tak mau untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya.

Aku, bapak, ibu, dan adik tinggal dalam sebuah rumah sempit berukuran 5x6 meter di antara bangunan di SD yang bapak ajar. Sebuah rumah dinas yang digunakan bagi guru yang berasal dari luar daerah Wonosobo. Disana aku dibesarkan, di sebuah desa yang perjalanan dari terminal kabupaten sampai desa ku menempuh 2 jam perjalanan. Yah memang selama itu perjalanannya karena transportasi yang masih susah hanya ada beberapa bus mini yang setiap 5km berhenti untuk mangkal menunggu penumpang dan ditambah lagi track pegunungan yang berbelok-belok naik turun membuat semakin memakan waktu. Pernah suatu ketika aku dibuat tertawa oleh teman kuliah yang mempertanyakan apakah desa ini masih masuk Indonesia karena suasana pegunungan yang amat dingin dan jarak yang teramat jauh dari pusat kabupaten. “Lihatlah anak desa ini yang tak kalah semangat denganmu anak kota dalam menggapai masa depan” bisikku dalam hati.

Aku sangat bersyukur melewati masa kecil di sebuah pelosok desa ini, banyak pelajaran yang bisa diambil disini. Jika aku berani bertaruh mungkin aku menjadi anak kecil yang paling bahagia karena banyak orang yang selalu mengajakku bermain. Desa ku masih menggunakan kalender jawa yang mana pada setiap pahing dan wage terdapat pusat perbelanjaan yang menjual apapun disana mulai dari pakaian, sayur-mayur, perkakas, bahkan bahan bangunan pun ada. Memang pasar tersebut adalah pasar yang menopang perekonomian beberapa kelurahan di kecamatan kami. Aku masih ingat dimana setiap selesai pasar pukul 12.00 aku selalu diajak bermain seorang kuli pasar ke rumahnya dan nanti ketika sore hari nanti ibu akan datang untuk menjemputku. Tak jarang aku juga dibawa pulang oleh pedagang bahan bangunan dipasar untuk bermain di rumahnya.

Waktu silih berganti, tiba saatnya aku memasuki dunia sekolah. Mungkin jika teman-teman berada di kota maka tahapan sekolah pertama adalah TK atau bahkan playgroup, tapi aku yang kala itu di sebuah pelosok desa maka bapak memasukkanku langsung ke tahap SD dan aku dengan terpaksa harus mengulang 1 tahun di kelas satu sebagai pengganti masa di TK. Bapak yang kala itu sebagai guru di SD tersebut membuat masa-masa pendidikan di SD berjalan lancar bahkan aku tak pernah lepas dari peringkat 2 besar. Bapak adalah seorang yang keras dan disiplin dalam mendidik anak, tak jarang dalam belajar yang bapak jadwalkan setiap hari setelah shalat isya aku keluarkan jurus tangisan untuk meredam bentakan bahkan tamparan dari bapak. Hal yang bapak lakukan itu bukanlah sebuah pelanggaran HAM yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan tetapi sebuah tanggung jawab seorang bapak yang ingin anaknya sukses dengan pendidikan langsung darinya.

Memasuki masa SMP bapak pernah di sarankan oleh beberapa temannya bahwa aku lebih baik di sekolahkan menengah pertama di kabupaten saja yang mungkin jauh lebih baik bukan di desa. Bukan bapak tak mampu mensekolahkan aku di kabupaten tapi bapak masih berprinsip untuk mau mendidik dan mengontrol belajarku sehingga aku tetap melanjutkan masa sekolah menengah pertama di desa yang sama dengan masa SD. Bapak adalah seorang yang tau tentang kelemahanku yang harus di kuatkan dan kekuatanku yang harus ditingkatkan dalam pelajaran. Bapak tau aku suka dengan matematika dan lemah dalam bahasa inggris, sehingga aku disarankan untuk menambah jam belajarku dengan teman bapak seorang guru SMP di lain sekolahku. Teringat ketika bapak masuk kamarku untuk meminjam pensil tergeletak soal try out ujian matematika di meja belajar yang ia lihat. Bapak kemudian memanggilku dan membahas semalaman soal matematika yang saat itu aku salah dalam memilih jawaban. “Andai engkau tak mengingatkanku, maka anakmu ini kehilangan 2,5 poin dari 40 soal matematika. Terimakasih bapak.”

Ibu adalah seorang yang luar biasa bagiku, ia sebagai seorang yang melembutkan suasana hatiku dari kerasnya sifat bapak. Ibu yang setiap hari berjualan jajanan di SD yang bapak ajar menjadikan ibu menjadi manusia super sibuk dalam keluarga. Setiap hari ibu bangun jam 4 pagi untuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya dan nasi goreng, soto, aneka macam gorengan yang akan ia jual. Tak lupa tugas beliau setiap pagi adalah membangunkan suami dan anaknya untuk shalat subuh. Tugasku setiap hari adalah membawa jajanan yang ibu buat dari rumah ke tempat dimana terdapat dua buah meja untuk ibu berjualan sekaligus menyiapkan aneka jajanan warungnya. Tak jarang ia sampai pukul 10 malam untuk menyiapkan bumbu atau adonan yang akan ia gunakan untuk masak esok pagi. Ibu sebenarnya tak perlu untuk mencari tambahan nafkah bagi keluarga, dengan mengandalkan pendapatan bapak pun masih bisa untuk bertahan hidup. Tapi ibu tetap dengan pendiriannya mencari aktivitas yang bermanfaat dan membantu bapak menyiapkan tabungan bagi pendidikan anaknya kelak.

Aku sempat marah ketika bapak yang janji akan membelikanku sepeda motor dan laptop ketika masuk SMA tak kunjung di tepati. Saat itu aku belum berfikir tentang kemungkinan orang tua yang sedang banyak kebutuhan sehingga kebutuhan anak yang dirasa belum terlalu menjadi prioritas harus di korbankan. Aku mencoba menikmati kehidupan yang kupunya dimana banyak dari temanku yang sudah bisa menenteng laptop disela pergantian kelas di sekolah dan aku yang masih harus bergelantungan dipintu bus mini setiap sabtu sore pulang dari kos karena harus berdesakan dengan penumpang lain ketika banyak dari teman bermain gas dengan  motor kesayangannya. Bapak rela menanggung kemarahan anaknya demi sebuah pelajaran berharga yang kelak tak tau kapan anaknya baru mengerti pelajaran itu.

Entah alasan apa yang mendasari bapak dan ibu untuk tidak segera membuat rumah sendiri dan memilih untuk tetap tinggal di rumah dinas. Bapak baru mulai membangun rumah ketika aku masuk kelas 3 SMA dan harus tertunda 3 tahun karena untuk biaya aku kuliah di D3 Keperawatan. Bapak lebih memilih pendidikan anaknya sebagai prioritas pertama meskipun pendidikan yang di tempuh di masa kuliah bukan menjadi pilihan dari anaknya. Aku sekali lagi harus menerima keputusan dimana aku harus belajar di bidang yang bukan aku senangi, hanya ibu yang saat itu bisa menguatkanku dari beratnya keputusan bapak yang harus aku jalani. “Bapak memutuskan itu dengan pertimbangan yang panjang untuk kehidupanmu kelak, berdoa mohon petunjuk kepada Allah” kata ibu menenangkanku. Cukup lama aku mengiyakan keputusan bapak ini dan akhirnya akupun dengan mantap masuk ke dunia perkuliahan dengan restu bapak dan ibu.

Aku bisa melihat raut kebahagiaan bapak dan ibu ketika aku mampu menjadi sambutan wisudawan dan pengumuman aku diterima kerja sehari sebelum wisuda. Kekhawatiran beliau sudah terkurangi dengan anaknya yang mendapatkan pekerjaan sebelum wisuda. Ada tangis kebahagiaan dari seorang anak yang selama ini dididik dari keluarga yang sederhana ini. Bapak ibu pun turut mengantarkanku sampai ke terminal keberangkatan ketika aku akan berangkat ke Jakarta untuk bekerja di sebuah rumah sakit Internasional. Meskipun dari SMA aku sudah terbiasa hidup sendiri di kos, perjalanan baru ke Jakarta untuk merantau bekerjapun serasa berat sekali. “Kamu harus mulai menanggung tanggung jawab sendiri, menanggung segala resiko yang akan kamu jalani, dan berceritalah nak ketika kau tak mampu. Aku akan membantumu meski hanya sebuah saran” tersirat pesan dari tatapan bapak terakhir.

Baru satu bulan yang lalu aku pulang ke rumah di Wonosobo, Jawa Tengah. Aku pulang bukan karena ingin merasakan dingin dan sejuknya suasana disana tetapi ingin merasakan hangatnya suasana didalam rumah. Hangat ketika tempe kemul khas Wonosobo yang baru diangkat dari wajan penggorengan dipadukan dengan teh madu buatan ibu menemani obrolan malam ba’da maghrib. Tak ada kesedihan disana hanya ada tawa, harapan, dan kebahagiaan dari kami satu keluarga. Memang sengaja aku pulang setelah 6 bulan berada di Bandung untuk merasakan belenggu rindu akan hangat rumah.

Aku merasakan kasarnya telapak tangan bapak dan ibu ketika kucium punggung telapak tangan mereka. Tak ada kegembiraan yang luar biasa selain melihat raut wajah bahagia orang tua yang menyambut anaknya pulang. Tak habis obrolan semalaman, tak pula habis bahan diskusi dengan bapak ibu, dan satu hal yang selalu buat kami tertawa adalah ketika aku mulai menyentil tentang permintaan menikah. Kadang aku diajak diskusi untuk menentukan masa depan pendidikan adikku, bapak dan ibu adalah orang yang selalu khawatir akan pendidikan anaknya dan masa ini aku mulai merasakan kegelisahan mereka.

Banyak hal yang menjadikan mata ini serasa ingin meneteskan air mata. Ketika ibu mengusap peluh lelah sehabis mencuci pakaian atau ketika bapak harus mual muntah karena masuk angin setelah terguyur dinginnya air hujan saat perjalanan menggunakan motor. Aku tau ibu mampu membeli mesin cuci untuk mencuci pakaian yang menggunung dan aku pun tau bapak mampu membeli mobil agar tak selalu kehujanan dan kepanasan. Tapi beliau memilih untuk tidak membelinya, “toh masih bisa nyuci sendiri, toh masih ada jas hujan jika kehujanan” ujar beliau. Dalam usia yang menginjak dewasa ini aku kembali ditampar beliau, ketika anaknya berusaha mencari hidup yang layak (berlindung dari kata kekayaan) justru orang tuanya masih bertahan dalam kehidupan dalam kesederhanaan. Dalih “hidup itu asal cukup” tak mampu menggoyahkan kekhawatiran manusia akan kecukupan kehidupan material di dunia.

Aku harus kembali berangkat merantau untuk mencari pelajaran dari seluruh apa yang kulihat dan kudengar. Kembali aku harus merasakan dinginnya kesendirian tanpa nasihat dari bapak atau ibu. Anak pelosok desa ini berjanji akan membuat engkau bangga pak bu. Aku bahkan tak tau bagaimana membalas semua hal yang telah kau berikan padaku. Aku hanya ingin membuat engkau selalu tersenyum dan bangga ketika melihat anakmu, ketika bersua dalam telephon, atau bahkan ketika engkau mendengar kabarku dari orang lain.

Caraku berbakti kepadamu adalah dengan kuselipkan doa disetiap akhir shalatku.  Aku ingin menjadi anak yang berbakti kepadamu. Terimakasih engkau telah menunjukkan ku arti perjuangan hidup dimana engkau rela bekerja keras dan menggadaikan semua inginmu demi pendidikan yang layak bagi anakmu. Terimakasih telah kau tunjukkan arti kesederhanaan dalam hidup dimana banyak orang yang tergila-gila mengejar dunia engkau masih memilih hidup dalam kesederhanaan. Semoga anakmu ini bisa menjadi anak yang selalu engkau banggakan, selalu kau sebut dalam doamu, dan kelak bisa menjadi cahaya dalam kehidupan setelah dunia ini.

“Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku diwaktu kecil” (QS Al-Isra; 24)”.


Salam rindu dari anakmu,
Powered By Blogger